Walisongo
atau Walisanga dikenali sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad
ke-14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, iaitu
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan
Cirebon di Jawa Barat. "Walisongo" bererti sembilan orang wali.
Era
Walisongo mengakhiri penguasaan kebudayaan Hindu-Buddha dalam budaya Nusantara
dan digantikan dengan kebudayaan Islam. Walisongo adalah simbol penyebaran
Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Peranan mereka sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat Walisongo ini
lebih banyak disebut berbanding dengan ulama yang lain.
Arti Walisongo
Masjid
Agung Demak, diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali yang
paling awal.Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali
yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam
bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata
tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata
sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat
lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama
kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi
(808 Hijriah). Para Walisongo adalah pembaharu masyarakat pada masanya.
Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru
masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan,
kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Tokoh-tokoh Walisongo
Masing-masing
tokoh tersebut mempunyai peranan unik dalam penyebaran Islam. Nama Walisongo
adalah:
Sunan Gresik atau
Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua di antara Walisongo.
Menurut
legenda rakyat, dikatakan bahwa Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
berasal dari Persia. Syeh Maulana Malik Ibrahim dan Syeh Maulana Ishaq disebutkan
sebagai anak dari Syeh Maulana Ahmad Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro.
Syeh Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai,
sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syeh Jumadil Qubro dan kedua
anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh
Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Syeh Maulana Malik Ibrahim ke Champa,
Vietnam Selatan; dan adiknya Syeh Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Syeh
Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut
sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri
raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid
Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri
itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa,
kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Syeh
Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat kadang-kadang juga disebut dengan
nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul
masyarakat bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat
sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain
itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib,
diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal
dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Sunan Ampel atau Raden
Rahmat pula adalah putera daripada Maulana Malik Ibrahim.
Menurut
Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan
Ampel adalah Raja Bungsu, anak Sultan Pasai. Dia datang ke Majapahit
menyusul/menengok kakaknya yang diambil istri oleh Raja Mapajahit. Raja Majapahit
saat itu bernama Dipati Hangrok dengan mangkubuminya Patih Maudara (kelak
Brawijaya VII) . Dipati Hangrok (alias Girindrawardhana alias Brawijaya VI)
telah memerintahkan menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa
sepuluh buah perahu ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam, mulanya Sultan Pasai
keberatan jika Putrinya dijadikan istri Raja Majapahit, tetapi karena takut
binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan juga. Putri Pasai dengan
Raja Majapahit memperoleh anak laki-laki. Karena rasa sayangnya Putri Pasai
melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai. Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu
kemudian meminta tanah untuk menetap di wilayah pesisir yang dinamakan
Ampelgading. Anak laki-laki dari Putri Pasai dengan raja Majapahit tersebut
kemudian dinikahkan dengan puteri raja Bali. Putra dari Putri Pasai tersebut
wafat ketika istrinya Putri dari raja Bali mengandung tiga bulan. Karena
dianggap akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka ketika lahir bayi ini
(cucu Putri Pasai dan Brawijaya VI) dihanyutkan ke laut, tetapi kemudian dapat
dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut Pangeran Giri.
Kelak ketika terjadi huru-hara di ibukota Majapahit, Putri Pasai pergi ke
tempat adiknya Raja Bungsu di Ampelgading. Penduduk desa-desa sekitar memohon
untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu sendiri merasa
perlu meminta izin terlebih dahulu kepada Raja Majapahit tentang proses
islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan memperbolehkan penduduk untuk
beralih kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang menurut aturan dari Raja
Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu. Petinggi
Jipang dan keluarga masuk Islam. Raja Bungsu beristrikan puteri dari petinggi
daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang tertua seorang
perempuan diambil sebagai istri oleh Sunan Kudus (tepatnya Sunan Kudus
senior/Undung/Ngudung), sedang yang laki-laki digelari sebagai Pangeran Bonang.
Raja Bungsu sendiri disebut sebagai Pangeran Makhdum.
Sunan Bonang atau Raden
Makhdum Ibrahim adalah putera daripada Sunan Ampel.
Sunan
Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim.
Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa
di kabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang diduga adalah Bong Ang sesuai nama
marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel.
Sunan
Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa
Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi
makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat dia meninggal, kabar wafatnya dia
sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat
mengagumi dia sampai ingin membawa jenazah dia ke Madura. Namun, murid tersebut
tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian
dia. Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari
Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang.
Mereka memperebutkannya.
Sunan Drajat atau Raden
Qasim adalah putera daripada Sunan Ampel.
Sunan
Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi. Nama kecilnya adalah Raden
Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan
Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang.
Ketika
dewasa, Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran,
Kabupaten Lamongan.
Sunan
Drajat bernama kecil Raden Syarifuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang
terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, ia mengambil tempat di Desa
Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan
dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali keprajaan di
wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.
Ia
sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat memperhatikan
nasib kaum fakir miskin. Ia terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial
baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada
etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan
kemakmuran.
Usaha
ke arah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk
mengatur wilayahnya yang mempunyai otonomi.
Sebagai
penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan usahanya
menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi
warganya, ia memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak
pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.
Sunan Kalijaga atau
Raden Said merupakan sahabat dan murid Sunan Bonang.
Sunan
Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah
putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama
lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan
Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga
berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di
sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.
Masa
hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan
demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478),
Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang
yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan
Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon
dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan
salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Mengenai
asal usulnya, ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa ia juga masih
keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli. Van Den
Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya
sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Sementara itu menurut
Babad Tuban menyatakan bahwa Aria Teja alias 'Abdul Rahman berhasil
mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari
perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Menurut catatan Tome
Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa Islam pertama
di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta.
Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I ('Abdul Rahman)
memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Muhammad. Sunan Kalijaga mempunyai
tiga anak salah satunya adalah Umar Said atau Sunan Muria.
Sunan Kudus atau Jaffar
Shadiq adalah anak murid Sunan Kalijaga.
Sunan
Kudus adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung dalam
walisongo, yang lahir pada 9 September 1400M/ 808 Hijriah. Nama lengkapnya
adalah nama Sayyid Ja'far Shadiq Azmatkhan. Ia adalah putra dari pasangan Sunan
Ngudung.
Runtuhnya
kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. Bapaknya
yaitu Sunan Ngudung adalah putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal
Ali Murtazha (Raja Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke
Jawa dan sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima
Perang.
Nama
Ja'far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja'far ash-Shadiq bin
Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan
Fatimah az-Zahra binti Muhammad.
Sunan Giri atau Raden
Paku atau Ainul Yaqin adalah anak saudara Maulana Malik Ibrahim dan sepupu
Sunan Ampel .
Sunan
Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton,
yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Sunan Giri membangun Giri
Kedaton sebagai pusat penyebaran agama Islam di Jawa, yang pengaruhnya bahkan
sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Sunan Giri memiliki
beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih,
Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudro. Ia lahir di Blambangan tahun 1442, dan
dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik. Sunan Giri merupakan buah pernikahan
dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi
Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa
akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah
penyakit di wilayah tersebut. Maka ia dipaksa ayahandanya (Prabu Menak Sembuyu)
untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu. Lalu, Dewi Sekardadu dengan
rela menghanyutkan anaknya itu ke laut/selat bali sekarang ini.
Versi
lain menyatakan bahwa pernikahan Maulana Ishaq-Dewi Sekardadu tidak mendapat
respon baik dari dua patih yang sejatinya ingin menyunting dewi sekardadu
(putri tunggal Menak sembuyu sehingga kalau jadi suaminya, merekalah pewaris
tahta kerajaan. Ketika Sunan Giri lahir, untuk mewujudkan ambisinya, kedua
patih membuang bayi sunan giri ke laut yang dimasukkan ke dalam peti.
Kemudian,
bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) - yakni sabar dan
sobir - dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar
perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia
menamakan bayi tersebut Joko Samudro.
Ketika
sudah cukup dewasa, Joko Samudro dibawa ibunya ke Ampeldenta (kini di Surabaya)
untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya,
Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu.
Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya beserta Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk
mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak
lain adalah ayah Joko Samudro. Di sinilah, Joko Samudro yang ternyata bernama
Raden Paku mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
Sunan Muria atau Raden
Umar Said adalah putera Sunan Kalijaga.
Sunan
Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa
riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi
Soejinah, putri Sunan Ngandung. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal
dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus,
Jawa Tengah, tempat dia dimakamkan.
Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik
Ibrahim telah meninggal terlebih dahulu.
Sunan
Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang
mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah
satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo. Sunan Gunung Jati
merupakan satu-satunya Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa Barat.
Mereka
adalah para intelektual yang menjadi pencetus perubahan masyarakat. Mereka
memperkenalkan berbagai bentuk peradaban baru, mulai dari kesihatan, bercucuk
tanam, berniaga, kesenian dan kebudayaan, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Asal usul Walisongo
Teori
keturunan Hadramaut
Walaupun
masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia
Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut
lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal
mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi
yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju
Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
L.W.C
van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada
1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel
Indien (1886) mengatakan:
”Adapun
hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang
Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara
raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga
suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini
tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid
Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
van
den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada
abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya,
yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab
bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan
tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan.
Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh
sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan
pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa
kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan
Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan
van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik
kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15
ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang
berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad,
Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
Hingga
saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama
seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar),
Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh
Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar
bermadzhab Hanafi.
Kesamaan
dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait;
seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi,
doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir,
Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab
fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al
Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha
maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut,
karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan
fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
Di
abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah
dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga
merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di
Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah
Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama
besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh
musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai
putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal
Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Teori
keturunan Cina
Sejarawan
Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa
(1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Muslim.
Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa
Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang
terbitnya buku tersebut.
Referensi-referensi
yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa
sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud
hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana,
yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian
merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident
Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya
sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan
L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah
Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun
menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak
dijadikan referensi.
Salah
satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs
berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang
ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan
seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat
dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan
Parlindungan.